Begitulah ungkapan yang saya ringkas dari pernyataan Anton Aprianto, Pemimpin Redaksi Tempo saat berbicara pada “Championing Environmental Crime Reporting in Indonesia 2021-2023” di Auditorium Lt 2, Perpustakaan Nasional, 20 Maret 2023. Anton menceritakan bagaimana usaha pemberitaan investigasi yang dilakukan oleh wartawan daerah yang dilakukan seorang diri, malah membuatnya tinggal nyawa. Tentunya investigasi lingkungan menjadi momok para pengusaha ataupun perusahaan yang menjarah sumber daya alam dengan cara yang tidak bertanggung jawab.
“Investigasi lingkungan tidak bisa dilakukan seorang diri harus dilakukan secara kolaborasi, karena jurnalis daerah memiliki banyak sekali data dan jurnalis nasional memiliki nama untuk melindungi. Disinilah tantangan nyawa bisa di tackle, menjadi sebuah kolaborasi”
Anton Aprianto, Pemimpin Redaksi Tempo
Mengapa investigasi lingkungan terasa sangat berbahaya? Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) menyatakan satu alasan tegas. Kejahatan lingkungan itu “Multiple Crime” jadi pasti yang terlibat banyak. Dengan asas multiple crime ini, Raynaldo melihat beberapa sisi penting yang selalu membuat investigasi lingkungan terhambat.
- Lemahnya penerapan implementasi undang-undang yang diterapkan kepada orang-orang yang memperjuangkan lingkungan, yang seharusnya tidak dapat dihukum.
- Tidak ada integrasi untuk memeriksa kejahatan lingkungan dari kementerian dan lembaga.
- Tidak adanya keinginan untuk menyelesaikan permasalahan, dengan memberikan kesan kepada publik melalui keterangan pers bahwa aparat “sedang bekerja” bukan menyelesaikan persoalan.
- Tidak adanya hukuman yang menyeluruh, karena biasanya yang diberikan adalah sanksi administratif, sehingga secara ekonomi para penjahat lingkungan masih bisa bertahan hidup. Sehingga hukumannya parsial.
- UU yang disahkan oleh negara membingungkan. Salah satunya UU Cipta Kerja yang dapat memberikan multitafsir untuk investor, tidak memiliki transisi yang jelas, serta menjadi hambatan dalam pelaporan kejahatan lingkungan.

Menghadapi tantangan meliput investigasi lingkugan yang sudah dikategorikan sebagai “Multiple Crime” atau kejahatan yang berlapis, Environmental Justice Foundation (EJF), organisasi nirlaba dari Inggris mnemberikan dukungan berupa pelatihan penulisan investigasi lingkungan. Program ini merupakan kolaborasi antara EJF dan Tempo Institute yang melatih 6 champion untuk mengasah kemampuannya dalam meneliti serta memberitakan investigasi yang ada disekitar tempat tinggal mereka. Azizah Nur Hapsani, Senior Campaigner/Project Coordinator EJF menyatakan ini adalah projet pertama mereka di Indonesia untuk liputan investigasi lingkungan.
“Biasanya kami menyebarkan informasi melalui report, tentu akan membosankan. Kami harap dengan program ini, media dapat menjangkau lebih luas”
Azizah Nur Hapsani, Senior Campaigner/Prohect Coordinator EJF
Dalam investigasi, banyak data-data yang harus disinkronkan menjadi penjelas mengapa hal itu perlu diangkat dan diproblematisasi. Untuk itu kolaborasi investigasi juga dilakukan bersama dengan Auriga Nusantara, dalam menyediakan akses big data agar mendukung laporan investigasi yang telah disusun. Deputi Program Auriga Nusantara, Hendrik Siregar menyatakan mereka juga berkomitmen untuk memberikan data kepada para jurnalis dan masyarakat melalui prosedur yang telah ditetapkan.
Dengan dukungan yang kuat dari berbagai mitra, Anton percaya meskipun laporan investigasi tidak menggoda untuk dibaca khalayak umum, namun berita-berita mendalam ini tetap menjadi perhatian pembaca setia. Ia yakin, berita investigasi menjadi masa depan dari jurnalistik, meski butuh penyesuaian cara mendapatkan penghasilan yang sebelumnya gratis menjadi versi “Subscription”. Cara-cara ini sudah ditempuh oleh banyak sekali media di luar negeri, seperti Guardian, dan di dalam negeri seperti Project Multatuli.
Begitulah hasil diskusi yang dipimpin oleh Bagja Hidayat, Executive Editor Tempo, sebagai moderator. Di akhir diskusi, Bagja menyimpulkan hukum lingkungan masih punya problem, meski sudah ada laporan investigasi yang mengangkat isu ditambah liputan dan data, tetap ada hambatan hukum dalam menindaklanjuti kasus investigasi tersebut. Beberapa pertanyaan tetap menggelayut di kepala saya setelah diskusi, jika dengan cara jurnalistik yang normal saja, investigasi lingkungan sudah tidak didengar, lalu cara apa lagi yang harus dipakai? Ketika para jurnalis nasional juga memiliki patron untuk tetap menganggap populer di media sosial hanya semata permainan saja?