Kusta: Apakah Ujian Ataukah Karma dalam Perspektif Agama?

Perbincangan mengenai kusta biasanya didominasi dengan diskriminasi dan stigma yang kuat dari masyarakat. Program Ruang Publik “Kusta dalam Perspektif Agama” oleh KBR dan Suara Indonesia Bebas Kusta (SUKA) bekerjasama dengan NLR Indonesia membuka perspektif baru mengenai kusta yang dilihat dari sudut pandang agama pada 8 Mei 2023. Perbincangan ini dipandu oleh host Rizal Wijaya dengan narasumber dr. Muhammad Iqbal Syauqi sebagai Dokter Umum RSI Aisyiah Malang dan Pdt. (Emeritus) Corinus Leunufna sebagai Pendeta & OYPMK atau Orang Yang Pernah Mengalami Kusta.

Apa itu penyakit kusta?

Menurut dr. Iqbal, penyakit kusta merupakan penyakit menular dengan beberapa faktor, mulai dari kontak erat yang sangat lama dengan penderita kusta, hingga imunitas saat terpapar bakteri kusta, serta kondisi lingkungannya. Pandangan awam serta diskriminasi hadir karena minimnya informasi terkait penyakit kusta. Padahal saat ini penyakit kusta dapat diobati dan sembuh ketika diketahui penyebabnya secara dini dan diobati secara benar.

dr. Iqbal menceritakan ciri-ciri kusta sendiri banyak dan beragam, bisa saja adanya rasa nyeri di syaraf tepi, adanya bercak kulit yang memiliki warna yang berbeda dengan warna kulit, adanya mati rasa dan tidak berkeringat, bisa saja kesemutan di daerah tersebut. Untuk pengobatannya sendiri, karena kusta hadir dari bakteri maka cara pengobatannya hampir sama dengan orang yang menderita TBC atau tuberkolosis yang membutuhkan obat secara teratur.

Untuk pencegahan penyakit kusta sendiri dapat dilakukan dengan kebiasaan baik sehari-hari, mulai dari membersihkan diri dan lingkungan, mengonsumsi makanan yang bergizi, hingga mengajak orang-orang yang mengalami gejala-gejala kusta agar memeriksakan dirinya ke dokter.

Pdt. (Emeritus) Corinus merupakan OYPMK atau Orang Yang Pernah Mengalami Kusta, beliau mengetahuinya pertama kali ketika mengeluh mati rasa pada kaki kepada dokter. Akhirnya atas saran dokter, beliau berobat ke puskesmas dan dinyatakan terinfeksi kusta pada 16 Juni 2016. Setelah menjalani pengobatan secara rutin tanpa putus selama 1 tahun, akhirnya Pdt. Corinus menyelesaikan pengobatannya pada Mei 2017 dan dinyatakan sebagai OYPMK.

Dalam proses pengobatan kusta, Pdt. Corinus sadar ia tidak takut terhadap penyakitnya, namun beliau takut kepada stigma orang banyak yang akan ia hadapi selama mendeita kusta. Takut tidak diterima di keluarga, takut tidak diterima lagi dalam lingkungan sosial dan masyarakat, terutama para jemaat di gereja. Sehingga ia melihat penyakit kusta menjadi peluang untuk mendekatkan diri pada Tuhan, serta pintu pelayanan bagi orang-orang yang menderita kusta.

“Saya tidak pernah menyesal menderita kusta. Ini adalah teguran Tuhan kepada saya untuk turut melibatkan diri di dalam pelayanan bagi mereka yang menderita kusta,”

Pdr. Corinus

Penyakit kusta dalam agama Islam

Penyakit kusta ini sudah dikenal pada zaman Nabi Muhammad dan sebelumnya, dalam hadist itu disebut Judham atau terpotong-potong. Karena penyakit ini membuat anggota tubuh terlepas. Bahkan ada satu doa Nabi yang meminta perlindungan dari Kusta, sehingga memang penyakit ini dikategorikan berbahaya pada zaman itu karena penyebarannya yang sangat cepat.


“Sehingga pertanyaan apakah kusta lahir dari kutukan, lahir dari dosa itu ada peran tokoh masyarakat termasuk agama, untuk membuka pengetahuan akan penyakit kusta.”

dr. Iqbal Syauqi

Mengenai kusta yang dikaitkan dengan Nabi Ayub, dr Iqbal menyatakan memang benar Nabi Ayub diberikan ujian sakit, namun banyak sekali narasi yang hadir bisa jadi kulit, kolera, kusta, dan hadir menjadi ujian. Karena tradisi kenabian maupun kewalian dalam Islam, mengenal ujian dalam menguji keimanan. Memang secara medis bisa diobati, namun dalam taraf ahlak, ketika sudah menerima sakit maka dipandang menjadi sebuah ujian untuk menempa diri untuk ridho, rela, dan ikhlas kepada takdir Tuhan. Sehingga dapat dilihat kondisi sakit itu menambah keimanan pada Tuhan yang melihat dirinya tidak mampu apa-apa dan inilah ujian dari Allah.

“Jika melihat Nabi Ayub, apakah Nabi Ayub dikutuk? Tidak. Karena Nabi Ayub sebagai hamba yang shaleh, tidak melakukan kesalahan-kesalahan prinsip dimana beliau harus dikutuk. Hanya saja penyakit-penyakit yang diderita memiliki stigma, sehingga memiliki kesan seperti itu,”

dr. Iqbal Syauqi

Dalam Islam penyembuhan dari penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara, dr. Iqbal menyatakan ada proses berdoa untuk terbebas dari penyakit baik doa spesifik maupun doa umum. Selain itu ada pengobatan secara fisik, dengan cara-cara yang dilakukan oleh Nabi mulai dari berhati-hati, menjaga fisik dan kebersihan, dan tidak diskriminatif dengan para penderita kusta.

Penyakit kusta dalam agama Kristen

Pdt. Corinus menyatakan penyakit kusta banyak diceritakan dalam agama Kristen. Pembicaraannya disebut 23 kali dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kusta dilihat sebagai kutukan Tuhan, tapi bukan penyakit, melainkan kutukan. Mereka yang menderita kusta dihindari dan tinggal sendiri dalam goa dan sumur, dan ketika memberi makan maka makanan tersebut diikat dengan tali dan talinya dibuang untuk menghindari kontak dengan penderita kusta. Di dalam Alkitab, Tuhan memberikan ujian berupa penyakit untuk melihat seberapa besar keimanan manusia.

“Sehingga dalam penyembuhannya, mereka harus memohon ampun kepada Tuhan dan mengakui perbuatan-perbuatannya, dan ketika sudah sembuh harus ada beberapa upacara-upacara dulu sebelum diterima dalam masyarakat selaku manusia normal. Antara lain persembahan korban, menemui para imam, barulah diterima dimasyarakat,”

Pdt. Corinus

Tercatat juga dalam Alkitab, Yesus tidak melakukan diskriminasi bagi para penderita kusta dengan cara mengenggam tangan penderita kusta dan menyembuhkannya. Hal ini muncul dari sikap cinta kasih Yesus kepada manusia apapun latar belakangnya, baik dia sakit ataupun tidak sakit, termasuk yang menderita.

“Sehingga dapat dilihat Yesus menghargai kemanusiaan itu dan setiap manusia itu setara. Ketika ia (penderita kusta) itu bersujud di hadapan Yesus dan meminta pertolongan-Nya, maka Tuhan Yesus tidak mengabaikan permintaannya, dan menolongnya dengan kekuasaan-Nya,”

Pdt. Corinus

Kusta dan Stigma

Pdt. Cornitus melihat edukasi kepada masyarakat maupun jemaat sangat penting untuk mengubah stigma dan diskriminasi terhadap sesamanya, terutama para penderita kusta. Sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk memberikan stigma apapun kepada sesama manusia. Jika ada stigma dan diskriminasi maka bisa dikatakan manusia itu tidak menghargai ciptaan Tuhan. Karena kekurangan yang ada pada manusia bukanlah pilihannya sendiri, sehingga harus dihargai.

“Ajaran yang disebarkan adalah: Manusia itu diciptakan oleh Tuhan, segambar dan serupa dengan Tuhan, menurut kepercayaan kami dalam Alkitab, dan lengkap dengan seluruh sifat kemanusiaannya,”

Pdt. Cornitus

dr. Iqbal menekankan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap penyakit kusta merupakan dampak dari kurangnya informasi mengenai penyakit kusta. Sehingga ketidak tahuan ini bisa dihindari dengan mencari sumber-sumber pengetahuan yang berlandaskan kemanusiaan, baik itu kepada masyarakat, tokoh masyarakat, serta tokoh agama.

“Stigma lahir karena ketidatahuan. Padahal kusta sudah dieradikasi terutama di daerah perkotaan, tetapi kusta bisa sembuh ketika diobati dan diketahui gejalanya”

dr. Iqbal Syauqi

Diharapkan pengetahuan dan pengajaran agama yang tepat dapat menghindarkan para OPYMK dari stigma dan diskriminasi dari masyarakat luas. Usaha-usaha ini harus dilakukan terus menerus agar para penderita kusta dapat kembali ke masyarakat dengan peran dan posisinya sebagai manusia.

Tinggalkan komentar